Minggu, 10 November 2013

Pengalaman Berpuasa di Kutub Utara dan Negeri Ginseng (2)

Masjid dengan Tiga Bahasa

Menurut Bu Widia, isteri Drs Gatot Subroto ini, selaku muslimin dan muslimah, para mahasiswa dalam menjalankan ibadah di kampus tidak ada masalah, sebab ada masjid yang cukup besar untuk sholat berjamaah, yang juga digunakan untuk sholat Jumat. “Bahkan di kawasan Grondland masih di kota Oslo, ada sebuah masjid besar berlantai 3 yang kotbahnya menggunakan tiga bahasa,” tutur ibu dari tiga orang anak ini. Di lantai 1 menggunakan bahasa Norg atau Norwegia, di lantai 2 menggunakan bahasa Inggeris dan di lantai 3 menggunakan bahasa Arab. Jadi bila Jumat banyak penduduk Oslo dan para mahasiswa pergi ke masjid Grondland tersebut yang dari tempat tinggal mereka Kringso harus naik kereta selama 30 menit. Jaraknya sekitar 30 km. “Untungnya waktu itu banyak mahasiswa dari negara yang berpenduduk muslim seperti dari Maroko, Pakistan, Uzbekistan dan sebagian dari Tibet,” tambahnya.

Tibalah bulan Ramadhan yang bertepatan dengan bulan Oktober 1999, musim panas mendekati musim gugur. Para mahasiswa yang muslim hampir semua berpuasa. Jadwal imsakiyahnya agak unik. Pukul 5 pagi mulai puasa Ramadhan, dan buka pada pukul 3 sore waktu setempat.
Memang tidak setiap malam para mahasiswa muslim menunaikan sholat tarawih berjamaah. “Sekaligus untuk melepas rindu sesama warga Indonesia, kami setiap week end yaitu Sabtu dan Minggu sholat tarawih berjamaah di Kedutaan Besar RI yang jaraknya cukup jauh dari Kringso,” tutur Kus Widianingsih, alumni IKIP Negeri Bandung ini. Kebanyakan perjalanan sehari-hari ditempuh dengan angkutan umum terutama dengan kereta. “Kami abonemen kereta sebulan 500 kroner. Di Norwegia satu kali beli tiket bisa untuk angkutan umum apa saja, baik bus, kereta maupun kapal laut,” katanya.
Tiba saat Idul Fitri, para mahasiswa dan masyarakat Indonesia muslim yang telah menjadi WNA di Oslo sholat Ied di Kedutaan Besar RI. Usai mendengarkan khotbah, seperti biasa bersalam-salaman saling memaafkan, yang menimbulkan rasa haru dan rindu keluarga serta kampung halaman. Tidak ada tradisi mudik lebaran. Selain biaya mahal juga masih terikat tugas belajar.
Ketika sholat Idul Adha para mahasiswa dan masyarakat Indonesia juga melakukannya di masjid Kedubes RI di Oslo. Tetapi di sini tidak ada daging kurban. “Ya bagaimana ? Orang nggak ada warga Indonesia yang melakukan kurban. Sebab kurbannya sudah dikirim ke Indonesia untuk saudara saudaranya kaum muslimin,” tutur Bu Widia lagi. Sebagai gantinya pihak Kedutaan Besar RI memasak gulai kambing dan sapi untuk makan bareng-bareng warga Indonesia. Sedangkan untuk makan sehari-hari di Oslo dan Norwegia umumnya tidak ada masalah karena banyak warga Indonesia yang mukim di sana dan menjual makanan/minuman berlabel halal dan sayur mayur yang tidak diharamkan.

Agak lain dengan pengalaman H Toekino bersama isterinya Hj Tuti Wirasati, warga Malaka Jaya Jakarta Timur waktu bermuhibah ke beberapa negara di Eropa tahun yang sama. Tepatnya tahun 1999 bulan Maret sampai April. Persamaannya, soal disiplin warganya, kebersihan lingkungan, pemandangan alam dan iklimnya. Seperti Norwegia, maka di negeri Belanda, Belgia dan Perancis pun pada musim semi dan musim bunga banyak dijumpai bunga tulip mekar beraneka warna menghampar di kebun kebun luar kota maupun di taman-taman kota.



Bedanya di ketiga negeri itu sulit ditemukan masjid. Mau sholat di taman yang terlihat bersih, ternyata taman yang teduh dan nyaman itu sering digunakan untuk tempat mengasuh atau menggembalakan anjing anjing piaraan. “Jadinya kami sering sholat di kendaraan umum yang memang bersih dan tepat waktu,” tutur H Toekino.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar