Bulan lalu, tepatnya pada tanggal 17 dan 18 November 2013 Museum Sejarah Jakarta merekonstruksi peristiwa sejarah penyerangan Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Mataram ke Batavia 1628 -1629 yang mengakibatkan tewasnya Gubernur Jenderal VOC Berlanda, Jan Pieterszoon Coen. Kita (Terbit) sempat menyaksikan pergelaran tersebut dan menyimpulkan, cukup mengesankan walau tidak maksimal karena diguyur hujan. “ Pertempuran” hiruk- pikuk antara tentara VOC Belanda melawan tentara Sultan Agung Mataram dengan banjir darah yang terjadi 385 tahun lalu terulang kembali di lokasi yang sama. Tentu saja itu semua dalam polesan seni pertunjukan yang disuguhkan Bengkel Teater Kota Tua dengan seratus pemainnya.
Hal itu menginspirasi kita untuk menyimak sejarah kepahlawanan Sultan Agung Mataram dan melihat sendiri bukti bukti peninggalannya. Di Jakarta sendiri ada bukti bukti sejarah itu misalnya nama kecamatan dan jalan Matraman yang berasal dari kata Mataraman. Begitu pula dengan nama kelurahan Paseban, dulu tempat warga Mataram “seba” atau menghadap rajanya. Namun baiklah kali ini kita berwisata ke Yogyakarta, tepatnya Kota Gede dan Imogiri. Yaitu tempat sang tokoh lahir, dibesarkan, menjadi raja, berjaya, sampai wafatnya dan dimakamkan.
Kota Gede seperti Kendari, terkenal dengan kerajinan peraknya sejak dulu. Lokasinya sekitar 7 km sebelah tenggara pusat kota Yogyakarta. Bila naik bus kota dari dekat stasiun Tugu kita naik bus rute 3A dari halte di Jl Malioboro atau Pasar Kembang. Nanti turun di Tegal Gendu Kota Gede. Di situ banyak industry dan toko kerajinan perak.
Untuk mencapai Masjid Besar dan makam raja raja Mataram di Kota Gede kita harus berjalan menyusur ke timur ke jalan Mondorakan. Sesampai di Tugu Ngejaman di pojok pasar Kota Gede, belok kanan. Hanya beberapa puluh meter sampailah di tempat yang dituju.
Jelas tertulis di papan nama dekat lampu taman antik : “Makam Raja-raja Mataram”.
Halaman parkirnya rindang oleh pohon beringin tua. Pintu gerbang ke kompleks masjid dan makam tersebut terbuat dari batu bata kuno bentuknya mirip candi kembar.
Di salah satu tembok bata terdapat prasasti bertulis Kanjeng Panembahan Senopati bertahta 1509 tahun Djimawal, atau tahun 1579 Masehi Wafat pada 1532 Tahun Ehe atau Th 1601 Masehi. Dikubur di Kota Gede.
Untuk masuk halaman masjid besar kita harus melalui gerbang yang hanya cukup bersimpangan tiga orang. Di halaman depan terdapat tugu bertonggak besi untuk melihat jam/waktu berdasarkan bayang-bayang tonggak tersebut ketika disinari cahaya matahari. “Di dekan tempat wudu terdapat pohon kenanga yang besar. “Sejak saya kecil pohon kenanga ini sudah ada. Dulu saya agak takut di bawah pohon ini,” ujar Dwi Busara warga asli sekitar makam Kota Gede terse but yang kini bekerja di Jakarta.
Dalam masjid memang antik. Ada bagian tembok masjid yang sengaja diperlihatkan struktur batu bata dan material adukan spasinya. Di migrab masjid terdapat mimbar dari kayu wungle berukir sangat bagus. Menurut sejarah mimbar itu hadiah dari Adipati Palembang ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma pulang dari Makkah dan mampir di peninggalan ibukota Sriwijaya tersebut.
Saat itu banyak puluhan wisatawan dari Demak berziarah dan sempat solat dhuha di situ. Ada pula beberapa wisatawan dari Jakarta dan mancanegara. Di antaranya para turis ada yang mengenakan kain batik, surjan dan blangkon serta menyengkelit keris. Ini memang keharusan bagi mereka yang berziarah ke makam 11 tokoh di pemakaman tersebut. Di antaranya Panembahan Senapati (Sultan Pertama Mataram), Sultan Hadiwijaya dari Pajang (Ayah angkat Panembahan Senapati), Ki Ageng Pemanahan (Ayah kandung Panembahan Senapati), Ratu Kalinyamat dan Kyai Wonoboyo Mangir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar