Melancong ke Lampung Timur
Bercanda dengan Gajah Way Kambas
Sebenarnya untuk mencapai Taman Nasional Way Kambas Lampung Timur dapat ditempuh dengan jarak terdekat dari Bakauheni kalau kita tidak perlu menginap di Bandarlampung. Yaitu dari Bakauheni ke Kunyir terus belok kanan ke Penengahan-Ketapang dan menyusur jalan pantai timur ke Labuhanmaringgai-Jepara -Labuhanratu belok kanan sampai Way Kambas.
Namun kali ini kami sudah menginap di Rumbia untuk menjemput teman. Karena itu rutenya pun berubah menjadi terbalik, dari Rumbia dipandu warga setempat , Yusmardi menuju ke selatan lewat Seputih Banyak, Purbalingga-Sukadana melaju di Jl Lintas Timur Sumatra -Pakuanaji –Labuhanratu terus berbelok kiri di jalan lebih kecil ke Way Kambas.
Dari jalan lintas timur untuk mencapai Pos Hijau sekitar 7 km. Di situ kita membayar retribusi masuk ke TNWK sebesar Rp2.500 /orang. Tertulis di atas gapura berhias Mahkota Siger, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Ada tulisan ajakan “Mari Lestarikan Satwa dan Ekosistemn ya”. Selain membayar karcis, kami juga disodori buah pisang oleh pedagang asongan. “Pisang-pisang Pak. Untuk makan gajah,” ujar ibu-ibu gemuk sambil menenteng beberapa sisir pisang yang cukup besar dan ranum. Kami pun beli 3 sisir. Setelah dicicipi ternyata manis, maka kita lahap sendiri. Akhirnya kita beli lagi beberapa sisir pisang yang lebih kecil untuk memberi makan gajah.
Dari pos tersebut ke pos di dalam jaraknya sekitar 9 km . Karcis retribusi dilihat petugas . “Silakan Pak , sekitar dua setengah kilometer lagi,” ujarnya. Ketika kami jalani terasa lebih jauh dari yang disebutkan tadi. Tampak setiap berberapa ratus meter ada pos atau gardu terbuat dari kayu. Di sebelah kiri kami lihat ada menara pengawas dengan rangka besi setinggi 15 meter.
Tak berapa lama masuklah mobil kami di halaman Pusat Konservasi Gajah (PKG). Jam menunjukkan pukul 9.30. Di tempat parkir sudah ada beberapa mobil. Menjelang tengah hari tidak kurang 13 mobil dan sebuah bus besar membawa penumpang parkir di halaman PKG. Yang tadinya hanya 3 ekor gajah yang keluar, kemudian disusul beberapa gajah lagi dengan pawangnya menyongsong para tamu wisatawan penyayang binatang.
Seekor gajah ditunggangi pawangnya sedang merumput menghampiri kami. Segera gajah tersebut diperintahkan duduk. Pak Dwi Busara wisatawan dari Ibukota mencoba mengulurkan pisang bawaannya. Diacuhkan saja. Gajah sombong itu asyik merumput dengan belalainya kemudian memasukkan rumput tersebut ke mulutnya untuk dikunyah. Setelah diperintah pawangnya bernama Tasrif, barulah gajah itu mau berinteraksi dengan tamu.
Mulailah Tasrif (40) memperkenalkan gajah jantan berumur 25 tahun yang bergading panjang namun ujungnya sudah terpotong . Namanya Edwin, pelatihnya yang pertama yang memberi nama itu. Memang gadingnya dipotong ujungnya agar tak berbahaya. Tapi pemotongannya memakai berita acara,” ujar Tasrif. Ia mengaku sudah bekerja menjadi guru gajah di Way Kambas 15 tahun. Sedangkan guru Tasrif sendiri dari Thailand yang didatangkan ke Lampung.
Tasrif yang berasal dari Ogan Komering Ulu itu mengatakan di PKG tidak sendiri, tetapi bersama 64 temannya sesama pawang gajah dari berbagai daerah. “Gajahnya ada 65 ekor, pawangnya juga sejumlah itu,”ujarnya. Di antara gajah gajah jinak itu ada yang masih balita berumur 1 ½ tahun. Gajah balita disebut bledug dalam bahasa Jawa.
Menunggang gajah
Menunggang gajah tidak mudah bagi orang awam. Sekalipun gajah tunggang itu mampu merunduk, si calon penunggang untuk mencapai punggung gajah tidak sembarangan. Pengalaman ini dituturkan Agus Widodo pegawai kelurahan Kampung Tengah, Condet yang telah mencobanya. Terlihat ia goyah waktu gajahnya mulai bediri. Untuk itu dibuat bangunan tangga beratap untuk para wisatawan yang berniat menunggang gajah. Calon penumpang diharapkan antre menunggu giliran di tangga tersebut. Jadi penumpang langsung duduk di punggung gajah dalm posisi binatang itu berdiri. Tinggal makleer, gajah berjalan dengan penumpang di punggungnya. Dwi Busara yang mencoba naik gajah mengeluh, ketika menuju habitatnya di seberang rawa-rawa, gajah tunggangannya terlalu lamban jalannya. “Gajahnya makan melulu sepanjang jalan. Jadi lama sampainya,” ujar Dwi.
Di samping gajah gajah jinak di PKG, di luar itu masih ada gajah gajah liar yang menurut Sutikno staf keamanan setempat lebih dari 100 ekor. “Mungkin 200 ekor,” ujar seorang temannya menimpali. Penghuni Taman Nasional Way Kambas yang mencapai luas 12.000 Ha lebih itu bukan hanya gajah, melainkan juga rusa, ayam hutan, elang dan babi hutan. Bahkan badak dan beruang.
Selagi asyik beberapa wisatawan makan di warung sementara yang lain bergembira menunggang gajah dan menunggu giliran di tangga pos pemberangkatan gajah tunggang, dari jauh tampak binatang setinggi kambing mirip gajah. Ternyata itu babi hutan dengan moncong panjang sedang mencari makanan. Bahkan beberapa babi hutan atau celeng tersebut ada yang masih balita dengan bulu berwarna loreng mengikuti induknya. Anak babi hutan namanya blegur dalam bahasa Jawa.
Soal peristilahan tersebut, Lampung dengan penduduk banyak keturunan transmigran dan buruh perkebunan dari Jawa, maka pada umumnya faham bahasa maupun istilah istilah dari bahasa Jawa.***
Satari (54) seorang tukang foto menawarkan jasanya kepada para wisatawan yang memberi makan dan menunggang gajah. Dengan ukuran 10 R, foto kenang-kenangan yang sudah diberi teks dan logo Taman Nasional Way Kambas itu ditawarkan Rp25.000. Semua peralatan dan ongkos ditanggung TNWK , sedangkan Satari sebagai operator mendapatkan uang jasa Rp5.000 per foto.
Anak Satari bernama Tartim (25) juga mengikuti jejak bapaknya menjadi fotografer upahan di TNWK . “Dia sekarang sedang ikut Show Gajah di Menggala, Lampung Utara,” tutur Satari.
Dari sound system PKG sudah diumumkan semua gajah dan pawangnya diharapkan berkumpul karena akan mengadakan atraksi sekitar pukul 13.00. Namun kami harus mengkalkulasikan waktu, sebab sebelum gelap harus sampai ke Bandarlampung . Karena itu tak menunggu pertunjukan atraksi gajah dimulai, kami sudah meninggalkan kawasan hutan konservasi dan wisata tersebut. ****
Provinsi Lampung memiliki banyak kelebihan dibandingkan provinsi lain di Sumatera. Dari segi geografis letak Lampung di ujung selatan Pulau Sumatera. Dengan sendirinya paling dekat dengan Pulau Jawa. Karenanya lalulintas di laut antara kedua pulau tersebut , yaitu Selat Sunda begitu ramai. Bahkan pada musim liburan atau hari raya maka pelabuhan Bakauheni di Lampung maupun pelabuhan Merak di Banten begitu sibuk melayani penyeberangan orang dan kendaraan bermotor sehingga menimbulkan antrean panjang kendaraan di jalan menuju dan dari pelabuhan terebut. Bahkan sampai macet berjam-jam.( pri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar