Rabu, 25 September 2013

Berwisata ke Gombong Naik ke Atap Benteng Van Der Wijck

Gerbang taman wisata van der wijck.



Bagian dalam benteng, setiap pintu antar ruangan berbentuk lengkung.

Dalam terminology peperangan, benteng adalah bangunan yang memiliki fungsi sebagai pertahanan dari serangan tentara musuh. Karena itu dibangun secara terkonsep, kokoh, lengkap dengan tempat berlindung, tempat mengintai dan menyerang balik tentara lawan dan penuh ruang rahasia sebagai penyimpanan perbekalan maupun amunisi.

Namun seiring dengan kemajuan teknologi perang dan peralatannya, keberadaan benteng pun tidak efekfif lagi menjalankan fungsinya. Karena itu semua benteng kini sudah beralih fungsi untuk daya tarik pariwisata. Seperti benteng Martello di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari di Kepulauan Seribu sering digunakan untuk acara eksklusif antara lain untuk out bond, sesi foto pre wedding, dan juga sekaligus tempat acara pernikahan seperti yang dilakukan artis kondang Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto pada 24 Agustus 2013 yang lalu.

Begitu pula dengan Benteng Rotterdam di Makasar, Benteng Marlborough di Bengkulu, Fort de Kock di Bukittinggi dan Benteng Van Der Wijck di Gombong, Jawa Tengah kini dijadikan objek wisata dengan jumlah pengunjung yang lumayan ramai.

Ke benteng Van der Wijck itulah kita berwisata kali ini. Dari Jakarta kita naik KA Progo yang berangkat dari Stasiun KA Pasar Senen pukul 22.00. Hari Senin (23/9) kereta tersebut berangkat tepat seperti jadwal. Ruangan kereta cukup bersih ber-AC dengan penumpang sesuai dengan jumlah tempat duduk, walaupun taripnya Rp60.000 per orang. Bagi anak anak dan lansia mendapat reduksi 20%, jadi hanya membayar Rp40.000 per orang. Toilet juga bersih dengan air yang cukup.

Penulis bersama erik hartoyo pengelola.

Lebih berbudaya
Sungguh manejemen PT KAI patut diacungi jempol. Sebab KA kini benar benar memanusiakan manusia dan mengajak bangsa Indonesia lebih berbudaya. Para pedagang asongan pun tak ada yang masuk gerbong , tidak seperti tahun tahun sebelumnya yang memperlakukan angkutan masal itu sebagai pasar untuk menjajakan segala macam dagangan dan jasa.

Meski begitu ada pula penumpang yang membawa kebiasaan buruknya dari rumah. Serombongan penumpang membuang sampah di sekitarnya. Bahkan ada yang merokok. Untung ada penumpang yang mengingatkan sebelum yang lain complain kepada petugas.
Sayang ketika KA berhenti di stasiun Sindang Laut banyak pedagang asongan masuk, menawarkan pop mie, minuman kopi , susu jahe panas, makanan dan lain-lain.

Ada rasa kecewa dengan titik lemah di sini. Tapi kalah dengan rasa kantuk. Tahu tahu sudah menjelang subuh sampai stasiun Purwokerto. Tampak di papan nama Purwokerto angka +75 M, tanda ketinggian kota di kaki Gunung Slamet itu 75 meter DPL (di atas permukaan laut). Terdengar dari pengeras suara satu melodi dengan lagu Di Tepinya Sungai Serayu, sebagai ciri suara awal di stasiun Purwokerto. Hanya sekitar 30 menit kemudian sampai di stasiun Kroya dengan ketinggian 11 km. Setelah melewati terowongan Ijo sampailah KA di stasiun Gombong sekitar pukul 04.38. Papan nama Gombong mencantumkan angka +18 M.

Usai solat subuh, dan matahari sudah mulai terbit, kami dijemput keponakan Pak Sungkowo ketua RT kami di Jakarta. Mas Sudibyo membawa kami ke rumahnya di Kuwarasan sekitar 5 km sebelah selatan stasiun Gombong. Setelah mandi dan sarapan serabi, berangkatlah kita ke Benteng Van Der Wijck. Dengan mobil Kijang kami menyusur jalan Puring ke utara. Di kiri kanan tampak sawah menghijau dengan tanaman kedelai dan kacang hijau sebagai tanaman selingan setelah panen. Sampai di Jl Raya Yos Sudarso kami terus ke arah utara di Jl Kartini terus Jl Gereja, tak sampai 700 meter dari jalan raya, sampailah di Jl Sapta Marga tempat yang dituju, yaitu satu kompleks markas dan perumahaan TNI AD yang dahulunya dikenal sebagai tempat pendidikan militer, Sekolah Calon Tamtama (Secata) A. Sekolah militer ini sudah berdiri sejak zaman Belanda. Menurut Erik Harsoyo, pengelola taman wisata Benteng Van Der Wijck, mantan presiden RI Jenderal Suharto pernah berlatih di tempat ini.
Kita menghadap ke timur tampak pintu gerbang taman rekreasi itu berbentuk benteng yang dijaga sepasang patung dwarapala. Di sebelah kanan terdapat patung Pangeran Diponegoro naik kuda dengan posisi menyerang. Diperkirakan benteng Van Der Wijck didirikan tahun 1825-1827 saat dicanangkannya Benteng Stelsel oleh pemerintah Belanda mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya dalam perang lima tahun (1825-1830).
Di jalan Sapta Marga bawah kerindangan pohon pohon pinus, ketapang dan akasia, terlihat diparkir kereta kelinci dan kereta kencana untuk berkeliling areal tersebut. Di kiri jalan terlihat deretan kamar hotel tempat menginap rombongan peserta pelatihan konservasi. Sedang di kanan berbagai arena permainan anak-anak termasuk kolam renang dan draimolen.
Sekitar 120 meter dari gerbang tampaklah bangunan bertingkat berwarna merah dengan tinggi hampir 10 meter. Di atas atapnya nongkrong kereta odong-odong dengan rel, sedang menunggu wisatawan yang ingin berkeliling melihat pemandangan sekeliling benteng di arel seluas lebih 2 hektar itu. Di pintu masuk bangunan melingkar berbentuk segi delapan itu terpampang ucapan “Selamat Datang di Benteng Van Der Wijck”.

Penulis di lantai dua menunjuk tangga ke atap.

Nama itu sendiri mengingatkan kita pada buku sastra karangan ulama dan sastrawan Indonesia tersohor Buya HAMKA dengan judul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Buku roman itu bercerita tentang rasa cinta dua tokoh berlainan jenis yang kental dengan adat budaya Minangkabau dan Bugis. Bagi pelajar SMA jurusan budaya di dekade 1950 sampai 1970-an, buku itu menjadi bacaan wajib.
Di halaman dalam benteng itu terasa lapang. Banyak yang menyamakan dengan tempat aduan banteng dengan matador di Spanyol. Lantai halaman tersebut meskipun telah diaspal, pada bagian yang terkelupas terlihat jelas, berkonstruksi batu bata yang ditata posisi berdiri.

Benteng dua lantai tersebut luasnya 3606,625m2 tiap lantai. Masing masing lantai terdapat 16 barak dengan ukuran masing-masing 7,5 x 11,32 m. Di lantai 1 dipamerkan foto- foto pemugaran benteng tahun 1998-2000 dan di lantai 2 terdapat foto foto kegiatan pendidikan tentara serta foto Pangdam Diponegoro dari sejak Kolonel Gatot Subroto sampai Mayjen Sumarsono SH. Juga foto bupati Kebumen dari zaman ke zaman, termasuk Ny Rustiningsih yang sempat menjadi Wagub Jateng.
Dari lantai 2 ada lagi tangga ke atap yang terbuat dari bahan terakota. Di atap sisi yang paling luar dibuat datar.Di situlah dipasang rel untuk kereta wisata dengan lokomotif mini. Seluruh bangunan dengan struktur batu bata itu tampak kokoh.

Drs Candrian Attahiyat pimpinan Balai Konservasi DKI dan sesama arkeolog yang lain seperti Ninik Maruto menilai benteng Van Der Wijck sebagai bangunan cagar budaya cukup terpelihara. Dalam pengembangannya dibangun beberapa gazebo atau pondok untuk melhat pemandangan sekililing. Sayangnya letaknya terlalu dekat dengan sosok benteng tersebut. “Biar lebih bagus, gazebo-gazebo itu harusnya dibangun agak jauh. Seperti dulu gazebo di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu terlalu dekat dengan Benteng Martello. Tapi sekarang sudah dibongkar dan dibangun kembali jauh dari bangunan kuno tersebut. Jadi lebih bagus,” ujarnya.
Kalau gazebo terlalu dekat dengan benteng padahal benteng tersebut sebagai obyek wisata itu sendiri, lalu bagaimana cara mengamatinya? Harus ada jarak yang cukup agar nyaman untuk memandang.

Halaman dalam benteng lantainya bata berdiri.

Pasukan tanpa kepala
Mengenai cerita hantu, Erik Hartoyo tak menolaknya. “Bangunan kuno yang sudah lama kosong tentu saja ada yang menghuninya. Ada orang yang memiliki indera keenam mengaku setiap datang ke benteng Van Der Wijck ada yang menyambutnya,” ujar Erik. Bahkan ada yang bilang dulu terlihat pasukan tentara tanpa kepala. Namun setelah dibersihkan dan kini dikembangkan menjadi taman rekreasi, cerita seperti itu tak terdengar lagi.
Sebaliknya beberapa kali benteng dan lingkungan tersebut digunakan untuk lokasi shooting film. Antara lain untuk shooting film Raid 2 yang dibintangi Iko Uwais.
Di luar benteng terdapat kolam Tirta Manggala, peninggalan Belanda yang masih digunakan untuk berlatih para tentara.

Di atap benteng ada kereta odong-odong.

Benteng tersebut tiap hari dikunjungi wisatawan. Hari biasa pengunjungnya hanya berkisar antara 50-70 orang. Tetapi bila hari Minggu mencapai 1.000 orang. Suatu angka pas-pasan untuk penghidupan sebuah taman wisata dengan 125 karyawannya dan untuk kontribusi pendapatan asli daerah Kabupaten Kebumen.

Untuk mencapai benteng Van Der Wijck dari stasiun Gombong dapat ditempuh dengan bentor atau becak motor yang sejak 3 tahun terakhir ini menjamur di kota itu berdampingan dengan becak kayuh. Ongkosnya sekitar Rp15.000. Rekreasi cukup murah dan penuh cerita sejarah yang berkaitan dengan heroisme Pangeran Diponegoro dan pengikutnya dengan perang melawan penjajahan Belanda yang berlangsung selama 5 tahun. (pri)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar