Gerbang taman wisata van der wijck. |
Bagian dalam benteng, setiap pintu antar ruangan berbentuk lengkung. |
Dalam terminology peperangan, benteng adalah bangunan yang memiliki fungsi sebagai pertahanan dari serangan tentara musuh. Karena itu dibangun secara terkonsep, kokoh, lengkap dengan tempat berlindung, tempat mengintai dan menyerang balik tentara lawan dan penuh ruang rahasia sebagai penyimpanan perbekalan maupun amunisi.
Namun
seiring dengan kemajuan teknologi perang dan peralatannya, keberadaan
benteng pun tidak efekfif lagi menjalankan fungsinya. Karena itu
semua benteng kini sudah beralih fungsi untuk daya tarik pariwisata.
Seperti benteng Martello di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari di
Kepulauan Seribu sering digunakan untuk acara eksklusif antara lain
untuk out bond, sesi foto pre wedding, dan juga sekaligus tempat
acara pernikahan seperti yang dilakukan artis kondang Atiqah
Hasiholan dan Rio Dewanto pada 24 Agustus 2013 yang lalu.
Begitu
pula dengan Benteng Rotterdam di Makasar, Benteng Marlborough di
Bengkulu, Fort de Kock di Bukittinggi dan Benteng Van Der Wijck di
Gombong, Jawa Tengah kini dijadikan objek wisata dengan jumlah
pengunjung yang lumayan ramai.
Ke
benteng Van der Wijck itulah kita berwisata kali ini. Dari Jakarta
kita naik KA Progo yang berangkat dari Stasiun KA Pasar Senen pukul
22.00. Hari Senin (23/9) kereta tersebut berangkat tepat seperti
jadwal. Ruangan kereta cukup bersih ber-AC dengan penumpang sesuai
dengan jumlah tempat duduk, walaupun taripnya Rp60.000 per orang.
Bagi anak anak dan lansia mendapat reduksi 20%, jadi hanya membayar
Rp40.000 per orang. Toilet juga bersih dengan air yang cukup.
Lebih
berbudaya
Sungguh
manejemen PT KAI patut diacungi jempol. Sebab KA kini benar benar
memanusiakan manusia dan mengajak bangsa Indonesia lebih berbudaya.
Para pedagang asongan pun tak ada yang masuk gerbong , tidak seperti
tahun tahun sebelumnya yang memperlakukan angkutan masal itu sebagai
pasar untuk menjajakan segala macam dagangan dan jasa.
Meski
begitu ada pula penumpang yang membawa kebiasaan buruknya dari rumah.
Serombongan penumpang membuang sampah di sekitarnya. Bahkan ada yang
merokok. Untung ada penumpang yang mengingatkan sebelum yang lain
complain kepada petugas.
Sayang
ketika KA berhenti di stasiun Sindang Laut banyak pedagang asongan
masuk, menawarkan pop mie, minuman kopi , susu jahe panas, makanan
dan lain-lain.
Ada
rasa kecewa dengan titik lemah di sini. Tapi kalah dengan rasa
kantuk. Tahu tahu sudah menjelang subuh sampai stasiun Purwokerto.
Tampak di papan nama Purwokerto angka +75 M, tanda ketinggian kota di
kaki Gunung Slamet itu 75 meter DPL (di atas permukaan laut).
Terdengar dari pengeras suara satu melodi dengan lagu Di
Tepinya Sungai Serayu, sebagai ciri suara
awal di stasiun Purwokerto. Hanya sekitar 30 menit kemudian sampai di
stasiun Kroya dengan ketinggian 11 km. Setelah melewati terowongan
Ijo sampailah KA di stasiun Gombong sekitar pukul 04.38. Papan nama
Gombong mencantumkan angka +18 M.
Usai
solat subuh, dan matahari sudah mulai terbit, kami dijemput keponakan
Pak Sungkowo ketua RT kami di Jakarta. Mas Sudibyo membawa kami ke
rumahnya di Kuwarasan sekitar 5 km sebelah selatan stasiun Gombong.
Setelah mandi dan sarapan serabi, berangkatlah kita ke Benteng Van
Der Wijck. Dengan mobil Kijang kami menyusur jalan Puring ke utara.
Di kiri kanan tampak sawah menghijau dengan tanaman kedelai dan
kacang hijau sebagai tanaman selingan setelah panen. Sampai di Jl
Raya Yos Sudarso kami terus ke arah utara di Jl Kartini terus Jl
Gereja, tak sampai 700 meter dari jalan raya, sampailah di Jl Sapta
Marga tempat yang dituju, yaitu satu kompleks markas dan perumahaan
TNI AD yang dahulunya dikenal sebagai tempat pendidikan militer,
Sekolah Calon Tamtama (Secata) A. Sekolah militer ini sudah berdiri
sejak zaman Belanda. Menurut Erik Harsoyo, pengelola taman wisata
Benteng Van Der Wijck, mantan presiden RI Jenderal Suharto pernah
berlatih di tempat ini.
Kita
menghadap ke timur tampak pintu gerbang taman rekreasi itu berbentuk
benteng yang dijaga sepasang patung dwarapala. Di sebelah kanan
terdapat patung Pangeran Diponegoro naik kuda dengan posisi
menyerang. Diperkirakan benteng Van Der Wijck didirikan tahun
1825-1827 saat dicanangkannya Benteng Stelsel oleh pemerintah
Belanda mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya
dalam perang lima tahun (1825-1830).
Di
jalan Sapta Marga bawah kerindangan pohon pohon pinus, ketapang dan
akasia, terlihat diparkir kereta kelinci dan kereta kencana untuk
berkeliling areal tersebut. Di kiri jalan terlihat deretan kamar
hotel tempat menginap rombongan peserta pelatihan konservasi. Sedang
di kanan berbagai arena permainan anak-anak termasuk kolam renang dan
draimolen.
Sekitar
120 meter dari gerbang tampaklah bangunan bertingkat berwarna merah
dengan tinggi hampir 10 meter. Di atas atapnya nongkrong kereta
odong-odong dengan rel, sedang menunggu wisatawan yang ingin
berkeliling melihat pemandangan sekeliling benteng di arel seluas
lebih 2 hektar itu. Di pintu masuk bangunan melingkar berbentuk segi
delapan itu terpampang ucapan “Selamat Datang di Benteng Van Der
Wijck”.
Nama
itu sendiri mengingatkan kita pada buku sastra karangan ulama dan
sastrawan Indonesia tersohor Buya HAMKA dengan judul Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck. Buku roman itu bercerita tentang rasa cinta dua
tokoh berlainan jenis yang kental dengan adat budaya Minangkabau dan
Bugis. Bagi pelajar SMA jurusan budaya di dekade 1950 sampai
1970-an, buku itu menjadi bacaan wajib.
Di
halaman dalam benteng itu terasa lapang. Banyak yang menyamakan
dengan tempat aduan banteng dengan matador di Spanyol. Lantai halaman
tersebut meskipun telah diaspal, pada bagian yang terkelupas
terlihat jelas, berkonstruksi batu bata yang ditata posisi berdiri.
Benteng
dua lantai tersebut luasnya 3606,625m2 tiap lantai. Masing masing
lantai terdapat 16 barak dengan ukuran masing-masing 7,5 x 11,32 m.
Di lantai 1 dipamerkan foto- foto pemugaran benteng tahun 1998-2000
dan di lantai 2 terdapat foto foto kegiatan pendidikan tentara serta
foto Pangdam Diponegoro dari sejak Kolonel Gatot Subroto sampai
Mayjen Sumarsono SH. Juga foto bupati Kebumen dari zaman ke zaman,
termasuk Ny Rustiningsih yang sempat menjadi Wagub Jateng.
Dari
lantai 2 ada lagi tangga ke atap yang terbuat dari bahan terakota.
Di atap sisi yang paling luar dibuat datar.Di situlah dipasang rel
untuk kereta wisata dengan lokomotif mini. Seluruh bangunan dengan
struktur batu bata itu tampak kokoh.
Drs
Candrian Attahiyat pimpinan Balai Konservasi DKI dan sesama arkeolog
yang lain seperti Ninik Maruto menilai benteng Van Der Wijck sebagai
bangunan cagar budaya cukup terpelihara. Dalam pengembangannya
dibangun beberapa gazebo atau pondok untuk melhat pemandangan
sekililing. Sayangnya letaknya terlalu dekat dengan sosok benteng
tersebut. “Biar lebih bagus, gazebo-gazebo itu harusnya dibangun
agak jauh. Seperti dulu gazebo di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu
terlalu dekat dengan Benteng Martello. Tapi sekarang sudah dibongkar
dan dibangun kembali jauh dari bangunan kuno tersebut. Jadi lebih
bagus,” ujarnya.
Kalau
gazebo terlalu dekat dengan benteng padahal benteng tersebut sebagai
obyek wisata itu sendiri, lalu bagaimana cara mengamatinya? Harus ada
jarak yang cukup agar nyaman untuk memandang.
Pasukan
tanpa kepala
Mengenai
cerita hantu, Erik Hartoyo tak menolaknya. “Bangunan kuno yang
sudah lama kosong tentu saja ada yang menghuninya. Ada orang yang
memiliki indera keenam mengaku setiap datang ke benteng Van Der Wijck
ada yang menyambutnya,” ujar Erik. Bahkan ada yang bilang dulu
terlihat pasukan tentara tanpa kepala. Namun setelah dibersihkan dan
kini dikembangkan menjadi taman rekreasi, cerita seperti itu tak
terdengar lagi.
Sebaliknya
beberapa kali benteng dan lingkungan tersebut digunakan untuk lokasi
shooting film. Antara lain untuk shooting film Raid 2 yang dibintangi
Iko Uwais.
Di luar
benteng terdapat kolam Tirta Manggala,
peninggalan Belanda yang masih digunakan untuk berlatih para tentara.
Benteng
tersebut tiap hari dikunjungi wisatawan. Hari biasa pengunjungnya
hanya berkisar antara 50-70 orang. Tetapi bila hari Minggu mencapai
1.000 orang. Suatu angka pas-pasan untuk penghidupan sebuah taman
wisata dengan 125 karyawannya dan untuk kontribusi pendapatan asli
daerah Kabupaten Kebumen.
Untuk
mencapai benteng Van Der Wijck dari stasiun Gombong dapat ditempuh
dengan bentor atau becak motor yang sejak 3 tahun terakhir ini
menjamur di kota itu berdampingan dengan becak kayuh. Ongkosnya
sekitar Rp15.000. Rekreasi cukup murah dan penuh cerita sejarah yang
berkaitan dengan heroisme Pangeran Diponegoro dan pengikutnya dengan
perang melawan penjajahan Belanda yang berlangsung selama 5 tahun.
(pri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar