Masjid dengan Tiga Bahasa
Menurut Bu Widia, isteri Drs Gatot
Subroto ini, selaku muslimin dan muslimah, para mahasiswa dalam menjalankan
ibadah di kampus tidak ada masalah, sebab ada masjid yang cukup besar untuk
sholat berjamaah, yang juga digunakan untuk sholat Jumat. “Bahkan di kawasan
Grondland masih di kota Oslo, ada sebuah
masjid besar berlantai 3 yang kotbahnya
menggunakan tiga bahasa,” tutur ibu dari tiga orang anak ini. Di lantai 1
menggunakan bahasa Norg atau Norwegia, di lantai 2 menggunakan bahasa Inggeris
dan di lantai 3 menggunakan bahasa Arab.
Jadi bila Jumat banyak penduduk Oslo dan para mahasiswa pergi ke masjid
Grondland tersebut yang dari tempat tinggal mereka Kringso harus naik kereta
selama 30 menit. Jaraknya sekitar 30 km. “Untungnya waktu itu banyak mahasiswa
dari negara yang berpenduduk muslim seperti dari Maroko, Pakistan, Uzbekistan
dan sebagian dari Tibet,” tambahnya.
Tibalah bulan Ramadhan yang bertepatan
dengan bulan Oktober 1999, musim panas mendekati musim gugur. Para mahasiswa
yang muslim hampir semua berpuasa. Jadwal imsakiyahnya agak unik. Pukul 5
pagi mulai puasa Ramadhan, dan buka pada
pukul 3 sore waktu setempat.
Memang tidak setiap malam para
mahasiswa muslim menunaikan sholat tarawih berjamaah. “Sekaligus untuk melepas
rindu sesama warga Indonesia, kami setiap
week end yaitu Sabtu dan Minggu sholat tarawih berjamaah di Kedutaan Besar
RI yang jaraknya cukup jauh dari Kringso,” tutur Kus Widianingsih, alumni IKIP
Negeri Bandung ini. Kebanyakan perjalanan sehari-hari ditempuh dengan angkutan
umum terutama dengan kereta. “Kami abonemen kereta sebulan 500 kroner. Di
Norwegia satu kali beli tiket bisa untuk angkutan umum apa saja, baik bus,
kereta maupun kapal laut,” katanya.
Tiba saat Idul Fitri, para mahasiswa dan
masyarakat Indonesia muslim yang telah menjadi WNA di Oslo sholat Ied di
Kedutaan Besar RI. Usai mendengarkan
khotbah, seperti biasa bersalam-salaman saling memaafkan, yang menimbulkan rasa
haru dan rindu keluarga serta kampung halaman. Tidak ada tradisi mudik lebaran.
Selain biaya mahal juga masih terikat tugas belajar.
Ketika sholat Idul Adha para mahasiswa
dan masyarakat Indonesia juga
melakukannya di masjid Kedubes RI di Oslo. Tetapi di sini tidak ada
daging kurban. “Ya bagaimana ? Orang nggak ada warga Indonesia yang melakukan
kurban. Sebab kurbannya sudah dikirim ke Indonesia untuk saudara saudaranya kaum
muslimin,” tutur Bu Widia lagi. Sebagai gantinya pihak Kedutaan Besar RI memasak
gulai kambing dan sapi untuk makan bareng-bareng warga Indonesia. Sedangkan
untuk makan sehari-hari di Oslo dan Norwegia umumnya tidak ada masalah karena
banyak warga Indonesia yang mukim di sana dan menjual makanan/minuman berlabel
halal dan sayur mayur yang tidak diharamkan.
Agak lain dengan pengalaman H Toekino
bersama isterinya Hj Tuti Wirasati, warga Malaka Jaya Jakarta Timur waktu
bermuhibah ke beberapa negara di Eropa tahun yang sama. Tepatnya tahun 1999
bulan Maret sampai April. Persamaannya, soal disiplin warganya, kebersihan
lingkungan, pemandangan alam dan iklimnya. Seperti Norwegia, maka di negeri Belanda, Belgia dan Perancis
pun pada musim semi dan musim bunga
banyak dijumpai bunga tulip mekar beraneka warna menghampar di kebun kebun luar
kota maupun di taman-taman kota.
Bedanya di ketiga negeri itu sulit
ditemukan masjid. Mau sholat di taman yang terlihat bersih, ternyata taman yang
teduh dan nyaman itu sering digunakan untuk tempat mengasuh atau menggembalakan
anjing anjing piaraan. “Jadinya kami sering sholat di kendaraan umum yang memang
bersih dan tepat waktu,” tutur H Toekino.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar