Jakarta, Berita Super
"Pemburu Liar" yang disajikan Teater Scala dengan "ending" tertangkapnya para perusak lingkungan telah mengawali Festival Teater Anak yang berlangsung di Gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat selama 6 hari. Hajat mengejar prestasi dan saling memberikan apresiasi ini digelar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta dan Lembaga Teater Jakarta dibuka PLH Kepala Bidang Pemerdayaan Masyarakat Disparbud DKI, Abdur Rachem dengan pemukulan gong tiga kali.
Babak pertama settingnya dalam hutan dengan satu regu pramuka sedang berkemah. Ceritanya mengalir penuh dialog bahasa anak gaul, namun menyiratkan nilai nilai, termasuk disiplin diri dan perlunya hidup berbagi. "Bahasa tubuh dan lemparan kata yang mencuat bernuansa jenaka," ujar Abu Galih, pengamat budaya dan pariwisata Jakarta.
Seorang nenek bongkok tertatih-tatih sendiri dalam hutan. Ketika ditanya, malah nyeletuk,"Kasih tahu nggak ya?" . Mendengar 'kejutan' itu penonton yang kebanyakan anak-anak dan guru drama itu pun gemuruh tertawa.
Para orang tua juga tak asing lagi dengan pementasan mereka sejak lagu lama diperdengarkan untuk selingan. Di antaranya lagu berirama Cha-cha "Papaya," yang dilanjutnya dengan menyebut nama buah lainnya Mangga, Pisang, Jambu. Penggalan lagu "Apanya Dong" ciptaan Titik Puspa yang dibawakan penyanyi bersuara sekak Euis Darlia, disisipkan pula dengan gerakan jenaka.
Sementara peserta kedua, Teater Batu Karang berkisah tentang panti asuhan dengan anak-anak penghuninya yang masing-masing memiliki cita-cita. Namun akhirnya terjadi ironi. Setiap babak setting nya sederhana namun dialog dan narasinya menyiratkan pengetahuan yang luas penulis naskahnya. Yang menggembirakan, selain sindiran kondisi terkini negeri ini, sekaligus memperteguh rasa kebangsaan dan kebanggaan sebagai orang Indonesia.
Ketika seorang anak perempuan yang bercita –cita menjadi pilot mengumumkan ketinggian pesawat menyebut pula koordinat posisi pesawatnya. "Kita sedang di Jawa Tengah, di atas candi Borobudur salah satu keajaiban dunia yang dibangun Wangsa Syailendra di abad kedelapan yang silam," ujar gadis itu seakan dari cockpit pesawat.
Pengamat Abu Galih mengakui mutu kedua grup teater awal tersebut. Namun apakah grup-grup berikutnya sebaik itu? Harry de Frettes seorang dari 3 anggota dewan juri menunjukkan jempolnya sambil tersenyum lebar melihat penampilan teater anak-anak itu.
Sekitar 500 anak dari usia PAUD, TK, SD sampai SMP dari 26 grup se Jabodetabek mengikuti festival teater anak tersebut.
Abdur Rachem yang juga Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan Disparbud DKI menegaskan, hidup berkesenian sebenarnya memiliki nilai lebih. Sayangnya banyak yang memandang sebelah mata.
Diingatkan, festival teater anak ini bukan untuk mengejar prestasi, melainkan sebagai ajang meningkatkan apresiasi berteater. "Visi kebudayaan sama dengan visi pendidikan, yaitu membangun kecerdasan, ketrampilan dan kreativitas masyarakat. Apalagi seni teater ini adalah ajang olah vocal, olah tubuh dan olah ruang ," ujarnya .
Acep S. Martin selaku Ketua Umum Lembaga Teater Jakarta menjelaskan, peserta festival terdiri dari grup dan sanggar teater maupun sanggar sekolah di Jabodetabek yang memiliki kelompok teater anak-anak. Mengenai peserta dari luar DKI, Acep mengatakan kurang dari 20%. Mereka itu sudah biasa berteater maupun latihan di TIM , sementara di daerahnya kurang kegiatan. Bertindak sebagai dewan juri yaitu pemain Lenong Rumpi, Harry de Frettes, dan dua orang teater lainya , Agus Fatah dan Edy Haryono. Bagi yang senang teater, kesempatan menonton dan mengapresiasinya tiap hari di Teater Kecil TIM sampai berakhirnya festival 7 September mendatang. (pri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar